Tiga Landasan Pokok Bag. 2

Mengenal Allah Sebagai Rabb

Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan kita seorang muslim, menyempurnakan Islam sebagai agama, dan menyempurnakan nikmatNya maka sempurnalah amal shalih. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَن يَبۡتَغِ غَيۡرَ ٱلۡإِسۡلَٰمِ دِينٗا فَلَن يُقۡبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran: 85)

Aku bersaksi bahwasannya tidak ada illah yang berhak di sembah selain Allah dan tidak ada sekutu bagiNya. Pemelihara langit dan bumi. Allah memerintahkan kita untuk memurnikan ibadah hanya kepadaNya. Dan melarang kalian untuk berbuat syirik. Allah Ta’ala berfirman:

مِنَ ٱلَّذِينَ فَرَّقُواْ دِينَهُمۡ وَكَانُواْ شِيَعٗاۖ كُلُّ حِزۡبِۢ بِمَا لَدَيۡهِمۡ فَرِحُونَ

yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. (QS. Ar Rum: 32)

dan aku bersaksi bahwasannya Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasalam adalah hamba dan utusannya. Kepada keluarganya, sahabatnya, dan kepada para imam yang di beri petunjuk.

Wahai kaum muslimin.

Tiga perkara pokok yang akan ditanyakan kepada seorang hamba ketika di alam kubur (fitnah kubur). Barang siapa yang selamat darinya maka selamatlah dia dari siksa kubur. Namun bila tidak mampu menjawabnya, maka siksa kubur pun menantinya.

Mengetahui Tiga Landasan Pokok

Mengenal Allah, Nabi-Nya, dan agama Islam adalah tiga landasan pokok yang wajib diketahui seorang hamba. Jika seseorang mengetahui tiga hal ini serta melaksanakan segala konsekuensinya maka baginya keselamatan di dunia dan di akhirat kelak. Mengapa ini penting bagi seorang hamba? Sebab seorang hamba ketika di alam kubur akan ditanya, “siapa Rabbmu? siapa nabimu? dan apa agamamu?” Jika dia diberi taufik untuk menjawab tiga perkara di atas maka selamatlah dia dari siksa kubur di mana hal tersebut menjadi indikator keselamatannya di akhirat. Begitu pun sebaliknya, seorang hamba yang tidak bisa menjawab tiga perkara tersebut maka sengsaralah nasibnya di akhirat kelak. Wal-‘iyadzubillah.

Tiga landasan pokok yang wajib setiap muslim memahaminya dan mengetahuinya. Kemudian merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Dan jauhilah semua perkara yang membatalkannya dan merusaknya.

Landasan Pertama: Siapa Rabbmu ? Rabbi Adalah Allah

Ushul pertama adalah mengenal Allah sebagai pencipta dan pemberi rezeki, dialah Allah yang maha memelihara kita dan memelihara seluruh alam semesta dengan kenikamatannya. Dialah Allah Rabb semesta alam. Dialah Allah yang di sembah. Tidak ada illah yang berhak untuk di sembah selain Allah.

Secara bahasa, kata Ar-Rabb bermakna pemelihara. Dari kata Ar-Rabb ini terkandung beberapa makna yang lain semisal Al-Malik (penguasa), Al-Mudabbir (pengatur), Al-Mutasharrif (pengatur)dan Al-Muta’ahhid (pemelihara). Penulis kitab Ushul Tsalatsah, Syaikh Muhammad At-Tamimi lebih memilih makna Ar-Rabb sebagai pemelihara. Sebagaimana beliau nyatakan dalam kitab beliau

ربي الله الذي رباني، وربى جميع العالمين بنعمه

“Rabbku adalah Allah yang memeliharaku dan memelihara seluruh alam semesta dengan nikmat-Nya…”

Kata Ar-Rabb juga bermakna ma’bud (sesembahan). Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

”Hai manusia, sembahlah Rabb-mu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.” QS. Al-Baqarah: 21)

Allah ta’ala berfirman dalam ayat yang lain.

أَمَرَ أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ إِلَّآ إِيَّاهُۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ

“Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Yusuf: 40)

Mengenai makna Rabb dari ayat di atas, Imam Ibnu Katsir mengatakan:

الخالقُ لهذه الأشياء هو المُسْتَحِقُّ للعبادةِ

“Sang Pencipta segala sesuatu adalah Dzat yang berhak disembah.” Hal ini selaras dengan tujuan diutusnya para Rasul yaitu untuk menyeru kaumnya agar hanya menyembah Allah saja dan tidak menyembah selain-Nya, sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap ummat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu’” (QS. An-Nahl: 36)

Mengapa penting bagi kita untuk mengenal Allah sebagai Rabb? Seorang hamba harus mengenal Rabbnya yang Maha Suci lagi Maha Tinggi yang diperoleh melalui kitab-Nya dan sunnah Rasul-Nya, baik itu berupa keesaan, nama-nama, maupun sifat-sifat-Nya. Dia adalah Rabb dari segala sesuatu dan Penguasanya, tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Dia dan tidak ada Rabb yang berhak diibadahi, melainkan Dia semata. Oleh karena itu kita wajib mengetahuinya agar kita benar-benar bisa mengabdi kepada-Nya dan dengan pengetahuan yang benar.

Wajib atas seorang muslim untuk meng Esakan Allah dari segi perbuatannya dari pencipataan, pemberi rizki, penguasa alam semesta, dan kepengaturan. Menetapkan apa yang telah Allah tetapkan atas dirinya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dari nama-namanya yang indah dan sifat-sifatnya yang sempurna. Allah ta’ala berfirman:

لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَيۡءٞۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat”. (QS. As-Syuraa: 11)

Tidak ada sekutu pada rububiyatihi, tidak ada sekutu pada ilahiatihi. Karena rububiyah adalah dalil dari pemurnian ibadah kepadanya. Tidak ada yang lebih tinggi dariNya. Dan tidak ada yang setara dengan asmaul husna dan sifat-sifatNya. Tidak ada yang bergerak seharokatpun kecuali Allah mengetahuinya.

Adapun mengenal Allah bisa ditempuh dengan memperhatikan ayat-ayat-Nya dan makhluk-makhluk-Nya. Dari segi bahasa al-aayah [arab: الأية ] memiliki banyak arti, di antaranya bermakna burhan [arab: برهان ] (keterangan) dan dalil. Ayat Allah sendiri dibagi dua macam:

1. Ayat-ayat syar’iyyah: maksudnya adalah wahyu yang dibawa para rasul, yang demikian itu adalah ayat-ayat Allah. Allah ta’ala berfirman:

هُوَ الَّذِي يُنَزِّلُ عَلَى عَبْدِهِ آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ

Dialah yang menurunkan kepada hamba-Nya ayat-ayat yang terang (Al-Qur’an)” (QS. Al-Hadid: 9)

Bagaimana wahyu bisa dijadikan dalil tentang keberadaannya Allah subhanahu wa ta’ala? Alasannya karena wahyu yang dibawa para rasul adalah wahyu yang sudah tersusun rapi dan sempurna serta tidak saling berlawanan. Allah menegaskan hal ini dalam Al-Qur’anul Karim:

وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا

Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan adanya pertentangan yang banyak di dalamnya” (QS. An-Nisa’: 82)

Dengan demikian jelaslah bahwa Al-Qur’anul Karim merupakan dalil tentang adanya Rabb yang Maha Agung.

2. Ayat-ayat kauniyah: yaitu para makhluk, seperti langit, bumi, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain.

Tauhidkan Allah dengan perkataan-perkataan. Memurnikan hati niat-niat kita. Dan penuh ketundukan jawarih diri kita.

فَٱدۡعُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ وَلَوۡ كَرِهَ ٱلۡكَٰفِرُونَ

“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadat kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai(nya)”. (QS. Ghafir: 14)

ذَٰلِكَ بِأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدۡعُونَ مِن دُونِهِۦ هُوَ ٱلۡبَٰطِلُ وَأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡعَلِيُّ ٱلۡكَبِيرُ ٦٢

“(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS. Al Hajj: 62)

Rububiyah merupakan dalil atas pengesaan Allah dari segi ibadah

Berkaitan dengan wajibnya seorang hamba mengenal Allah—yakni untuk bisa benar-benar beribadah dengan pemahaman yang benar: perkara tersebut adalah tauhid. Ini poko dari di ciptakannya manusia.

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi, penulis risalah Ushul Tsalatsah, mendefinisikan tauhid sebagai pengesaan Allah dalah hal ibadah. Makna tauhid sendiri secara umum adalah pengesaan Allah dalam rububiyah, uluhiyah, dan nama serta sifat-sifat Allah. Untuk itu sebagian ulama membagi tauhid menjadi tiga macam, yaitu tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma’ wa shifat. Adapun penjelasan masing-masingnya adalah sebagai berikut:

  1. Tauhid rububiyah adalah keyakinan tentang keesaan Allah dalam perbuatan-perbuatan-Nya. Yaitu meyakini bahwa Allah Ta’ala sebagai satu-satunya Pencipta seluruh makhluk, Penguasa dan Pengatur segala urusan alam, Yang memuliakan dan menghinakan, Yang menghidupkan dan mematikan, Yang menjalankan perputaran waktu antara siang dan malam, serta Yang maha kuasa atas segala sesuatu.
    Dengan demikian, tauhid rububiyah mencakup keimanan kepada tiga hal, yaitu: (1) beriman kepada perbuatan-perbuatan Allah Ta’ala secara umum, seperti menciptakan, memberikan rizki, menghidupkan, mematikan, dan lain-lain; (2) beriman kepada qadha dan qadar Allah Ta’ala; (3) beriman kepada keesaan Dzat-Nya.
  2. Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah Ta’ala dalam ibadah kepadanya atau tujuan perbuatan-perbuatan hamba yang dilakukan dalam rangka taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah. Seperti, berdo’a, bernadzar, menyembelih kurban, bertawakkal, bertaubat, dan lain-lain.
    Kemurnian tauhid uluhiyah hanya akan diperoleh dengan mewujudkan dua hal mendasar, yaitu: (1) seluruh ibadah hanya diperuntukkan kepada Allah Ta’ala saja, bukan kepada yang lainnya; (2) dalam pelaksanaan ibadah tersebut harus sesuai dengan syari’at Allah Ta’ala.
  3. Tauhid asma’ wa shifat adalah keyakinan tentang keesaan Allah dalam hal nama dan sifat-Nya yang terdapat di Al-Qur’an dan As-Sunnah, disertai dengan meingimani makna-makna dan hukum-hukumnya (konsekuens-konsekuensinya).
    Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam tauhid asma’ wa shifat adalah sebagai berikut: (1) Harus menetapkan semua nama dan sifat Allah Ta’ala, tidak menafikan (meniadakan) dan tidak pula menolaknya; (2) tidak boleh melampaui batas dengan menamai dan mensifati Allah Ta’ala di luar nama dan sifat yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya; (3) tidak menyerupakan nama dan sifat Allah Ta’ala dengan nama dan sifat para makhluk-Nya; (4) tidak boleh (dan tidak memungkinkan) untuk mencari tahu kaifiyah (bagaimananya) dari sifat-sifat Allah tersebut; (5) beribadah kepada Allah Ta’ala sesuai dengan konsekuensi nama dan sifat-Nya.

Keimanan seseorang kepada Allah Ta’ala tidak akan utuh sehingga berkumpul pada diri-Nya ketiga macam tauhid di atas. Tauhid rububiyah seseorang tidak akan berguna sehingga dia ber-tauhid uluhiyah. Sedangkan tauhid uluhiyah seseorang tidak akan lurus sehingga dia bertauhid asma’ wa shifat. Singkatnya, mengenal Allah Ta’ala saja tidaklah cukup kecuali seseorang tersebut benar-benar beribadah hanya kepada-Nya. Sedangkan beribadah kepada Allah Ta’ala tidak akan terwujud dengan benar tanpa mengenal Allah Ta’ala

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *